MENGUBUR KEMANUSIAAN


Ilustrasi : Wikipedia.org
     
 Di warung kopi, halte bis, pinggiran jalan dan paling sering ditemukan di bawah tiang traffic light. Dengan baju terkoyak, menenteng beberapa lembar buku yang mulai lusuh dan Koran bekas,dengan rambut mulai kemerahan tersiram terik matahari.
Tiap kali traffic light berubah merah, kendaraan terhenti, anak-anak ini mulai bereaksi. Nyanyian cempreng, gitar penggiring sumbang karena senar-senarnya tak lagi mampu mendengung, lelah, sebagaimana mereka, pengemis jalanan. Pemandangan yang lazim terjadi di kota-kota maju, mata telah terbiasa dengan fenomena semacam ini, dianggap sebagai kewajaran dan takdir bagi mereka yang terlahirkan lemah.

Dari halte berseberangan dengan kerumunan anak jalanan, Madi memperhatikan dengan tatapan datar, tak ada mimik simpati. Baginya dunia sangat membosankan, sebagaimana jenuhnya meratapi gerombol pengemis-pengemis jalan. Telah habis energi simpati yang ia berikan. Sia-sia, dengan modal simpati, apa yang dapat ku ubah, gerutu batinnya.
Bangsat! Mereka tak melakukan apapun untuk merubah hidupnya. Madi muak dengan rutinitas pengemis, ya, rutinitas. baginya semua adalah rutinitas. Tiap kali ia duduk menunggu di halte, pemandangan seperti inilah yang dilihatnya. Riuh, sumbang, sumpek, gerah. Kebiasaan, rutinitas, repitisi yang perlahan-lahan menyeretnya pada kubangan yang sama, kemiskinan.
Madi melepas dasi polos kebiruan yang melingkari kerah kemeja putihnya. Ia menghela nafas panjang, kabut melewati batang kretek yang menggantung di bibir. Asap bergumpal-gumpal melewati rongga hidungnya. Pada tatapannya yang kosong, Madi mencoba mengingat kembali, ini percobaan ke berapa kalinya ia lewati. Telah puluhan kali ia menjalani seleksi wawancara kerja, sekian kalinya hasilnya tetap sama, rejected.
 Disadarinya ia telah menjalani tahun-tahunnya sebagai sarjanawan, lebih tepatnya pengangguran. Sempat terlintas di pikirannya untuk kembali pada ayahnya, mengurus sawah dan ternak. Tapi mau disembunyikan di mana nanti wajahnya, makin kuatlah anggapan orang-orang di desa, bahwa tak ada gunanya sekolah tinggi-tinggi, toh badan akan kembali berlumpur mengurusi sawah.
Seorang pria berpakaian rapi menuju halte, menenteng bundel, agaknya kelengkapan wawancara. Langkahnya lamban. Madi paham betul ekspresi wajahnya, air muka kekecewaan.
 Madi tersenyum, ternyata ada juga orang sepertinya. Orang itu pasti juga gagal wawancara seperti dirinya. Ia duduk tepat di samping Madi, raut wajahnya lesu. Madi malah bersimpati padanya, bukan pada diri sendiri dan gelandangan di seberang jalan. Hening seketika membungkus udara di sekeliling. Dua sarjanawan yang tak kunjung diberi rejeki. Madi seperti melihat bayangan dirinya pada laki-laki itu.
Seorang peminta-minta tiba-tiba muncul di hadapan Madi. Bajunya bolong di mana-mana, wajahnya kusut, dengan tampang memelas. Anak-anak, berumur kurang lebih delapan tahunan.
Madi bersimpati. Ia teringat adiknya yang saat ini mungkin hampir sebaya dengan pengemis itu. Hatinya melunak, Madi mengecek isi dompetnya dan, miris.
 Dompet usangnya berisi beberapa pecahan rupiah. selembar uang lima ribu buat tarif angkot pulang ke pondokan, dan selembar uang sepuluh ribu, untuk jatah makan hari ini dan… hanya itu.
Seketika Madi untuk kesekian kalinya malu dengan dirinya sendiri, yang serba perhitungan. Ia memberikan jatah makan hari ini untuk kelompok yang dibencinya, pengemis. Selembar duit sepuluh ribu rupiah raib dari dompetnya, masuk dalam pundi milik bocah pengemis, dibayar dengan ucapan terima kasih yang entah tulus atau rekayasa.
 Anak itu beralih pada korban selanjutnya, laki-laki di samping Madi, meski tak mendapat apa-apa dari simpatisan berikutnya.
Madi tak sadar, laki-laki di sampingnya sedang menatapnya keheranan. Ia sadar betul situasi yang dihadapi Madi, kesulitan hidup bisa ditebak siapapun jika melihat kondisi madi saat ini. laki-laki itu mengeluarkan sebungkus rokok dari sakunya.
“ Rokok?”
Madi buyar dari lamunannya. Tak menyangka teman senasibnya menawarkan persahabatan. Kata orang, terlepas dari dampak negatifnya, rokok dapat menambah kawan. Madi mengambil sebatang. Tanpa perintah, laki-laki itu sigap menyalakan pemantik, rokok yang menggantung di bibir Madi.
“Terima kasih, bung”.
Seketika mereka diam dalam kebisuan. Dua pemuda yang hanyut dalam bengisnya kehidupan. Madi ingin membuka percakapan, namun ia terlalu khawatir mengusik kegelisahan di hati kawan bicaranya.
“Apa pandanganmu tentang anak-anak itu,”Pria itu membuka percakapan dengan menunjuk ke seberang jalan.
“pengemis?”
“Iya, anak-anak pengemis.”
“Oh… Mungkin sampai beberapa generasi pun mereka akan tetap seperti itu. Sebab tak ada niat merubah hidupnya, meski tak jauh beda dengan kita”
“tak jauh beda?”
“Oh, maaf. Mungkin kau tidak, tapi aku. Kuakui, melihat mereka seperti aku melihat diriku. Pengangguran yang tak kunjung mendapat pekerjaan.”
laki-laki itu tertawa. seakan menertawakan parodi di salah satu stasiun tivi malam tadi yang sempat ditonton Madi. Madi keheranan juga tersinggung. Baginya tak ada yang lucu dari perkataannya, malah jika dihayati dengan baik, perkataannya menyedihkan.
“Maaf. maaf kelancanganku.”
“Tak apa. anggap saja aku ngelantur.”
“ngomong-ngomong. Aku tak sepakat kau memberikan sisa duitmu untuk anak tadi.”
Madi keheranan. Beberapa saat baru ia sadar, transaksi barusan dengan bocah pengemis ternyata menjadi tontonan.
“Oh, soal itu. Bagiku, jengkel bagaimanapun dengan mereka, simpati tetap ada.”
“jadi soal simpati. Kuhargai kelembutan hatimu. Tapi sadar atau tidak, kau sedang memberikan racun pada anak itu.”
“Racun? Aku Cuma melakukan apa yang menurutku perlu.”
“yup. Kau sedang memberikan anak itu racun bernama kemalasan. Dengan modal muka memelas, pakaian sobek dengan sedikit acting… duit bisa didapat. Praktis kan?”
Madi kembali terhenyak. Baginya, kata-kata kawan bicaranya terlalu cerdas untuk ia cerna. Ia tak pernah sama sekali memikirkan hal seperti itu. Logis dan bernas argumentasinya.
“jadi menurutmu, tindakanku barusan adalah kesalahan?”
“menurutku demikian.”
Laki-laki itu tersenyum. Senyum kemenangan. Madi sedikit jengkel melihat gelagatnya. Namun, benar apa yang dikatakannya. Bisa jadi orang-orang berpandangan seperti dirinya yang membuat praktik meminta-minta tumbuh subur. Anak-anak itu tak mau ke sekolah karena bisa berpenghasilan tetap, sebagai pengemis, tapi…
“ketika mengabaikan mereka. Kau tak punya rasa kasihan?”
“Simpati tetap ada bung. Hanya saja aku memilih mengabaikannya.”
Madi mulai jengkel dengan cara laki-laki itu memanggilnya dengan sapaan bung. Mirip anak kacungan. Madi membalas seadanya.
“Perasaan memang tak akan pernah berdamai. Baik dan jahat sudah diciptakan berdampingan. Demikianpun soal rejeki”
“Benar bung. Kau benar. Jadi besok-besok, lebih baik kau abaikan mereka. Ini untuk kebaikan juga.”
 Suasana kembali bisu. Riuh jeritan kendaraan bermotor, membuat pembicaraan terasa tegang. Dalam hatinya, Madi tetap tak sependapat dengan pendapat laki-laki itu.
Dalam hati, Madi menyesalkan, mengapa kesenjangan hidup begitu kejam. Di satu sisi, ada orang berlimpah ruah kekayaan hidupnya. Di sisi lain, banyak pula yang masih berfikir tentang kelanjutan  hidup di hari esok.
Pria itu mengetahui gemuruh perasaan seorang Madi. Hidup memang kejam pikirnya. Ia mencoba menenangkan Madi yang masih kebingungan.
“ tak apa bung. Orang-orang pasti menemukan jalan hidupnya masing-masing.
“kau benar. Tapi kau tau? Aku lebih memilih bersikap sebagaimana biasanya. Esok ketika anak itu datang lagi padaku. Aku akan tetap memberinya duit, berapapun yang kupunyai.”
“ setelah semua yang telah kujelaskan padamu. Kau masih memilih memberi racun pada generasi kita?”
“Benar. Bagimu mungkin itu racun. Namun tidak begitu bagiku.”
“alasannya?”
“karena bagiku lebih baik kehilangan beberapa peser rupiah, bahkan masa depan anak-anak itu, di banding mengubur kemanusiaanku. Bagiku, penyebab kejahatan lebih besar dibanding kebaikan hari ini karena pemikiran orang-orang sepertimu. Mengabaikan kemanusiaan, sekali dua kali, maka manusia akan kehilangan kemanusiaan. Inilah punca kejahatan yang sebenarnya.”
Laki-laki itu terdiam. Ia tak percaya apa yang didengarnya. Kalimat yang diucapkan Madi menembus pemikirannya. Merobohkan keyakinan yang selama ini terbangun. Mengabaikan kemanusiaan, benar. Entah saat berapa lama ia merasa hidup sebagai mesin, yang keyakinannya sendiri pun menyangkali kemanusiaannya. Lama sekali… hingga ke hari ini.
Cukup lama laki-laki itu mematung. Rokok yang terjepit di jarinya habis terbakar percuma. Sedang Madi, pun masih diam. Ia tak percaya mengeluarkan kata-kata demikian bijaknya. Dari mana kata-kata itu, sebelumnya tak pernah ia pikirkan, semuanya terjadi begitu saja.
Laki-laki itu tersenyum. Ia menatap Madi yang hanyut dalam kebanggaannya karena kalimatnya barusan. Laki-laki itu beranjak dari dudukannya, bersiap-siap mengakhiri percakapan mereka.
“Terima kasih. Sungguh obrolan yang menyenangkan”
Madi masih setengah sadar. Lamunannya masih pengen ia teruskan.
“eh, sama-sama.”
“ngomong-ngomong, Namaku Beni.  Beni Albinso”
“Yadi. Suryadi”
Madi mengingat-ingat, entah mengapa nama itu akrab di telinganya.
Mereka bersalaman. Sebelum pria itu meninggalkan halte, ia memberikan kartu namanya.
“Kapan-kapan, kita ngobrol lagi. Boleh?”
“tentu.”
“ oh iya. Besok main-mainlah ke tempatku, alamatnya ada di kartu nama. Kau mungkin bisa dapatkan beberapa pekerjaan di sana.”
Laki-laki itu menjauh meninggalkannya sendirian di halte.
Hari memang telah gelap. Madi berfikir, ternyata dia bukan pengangguran seperti dirinya. Setelah lama, Madi teringat nama yang sering ia dengar diucapkan presenter tv, pengusaha muda sukses, mirip namanya. Beni buru-buru memperhatikan kartu nama di tangannya. Ternyata benar!

Beni Albian, CEO.  

0 comments:

Posting Komentar