Ilustrasi : |
lebih baik membebaskan
orang bersalah daripada khilaf menghukum orang yang tak bersalah (Letjen
Widodo, 1976).
Pemeo
di atas tentu akrab di telinga para akademisi hukum, khususnya bagi para
mahasiswa hukum. Tak terhitung telah berapa kali kalimat tersebut keluar dari
mulut pengajar-pengajar ilmu hukum. Hal ini lekat dengan salah satu elemen
penting dalam struktur penegakan hukum di Indonesia, yakni asas praduga tidak
bersalah (presumption of innocent). Sejalan dengan kiblat pendidikan dan
pembangunan hukum yang paling penting, yakni aspek moril. Kesadaran peserta
didik yang nantinya menjadi calon penegak hukum untuk lebih mengasah sense of
justice, naluri dalam mencapai keadilan.
Pengantar
di atas sebenarnya bukan untuk mengupas secara mendalam tentang wajah
pendidikan hukum saat ini. Namun, ada satu kata kunci yang menjadi pembahasan,
yakni tentang penerapan asas praduga tidak bersalah dalam kehidupan
sehari-hari. Disadari atau tidak, berapa banyak dari kita yang sangat mudah
menyalahkan seseorang, menjustifikasi pribadi individu tanpa memahami secara
mendalam duduk persoalan. Istilah don’t
judge the book by the cover bisa berarti luas, tak melulu tentang tampilan
juga tentang apa yang terinderai penglihatan. Meski demikian, pernahkah
terlintas di dalam pikiran, bahwa jari yang kita todong kea rah orang lain,
sebenarnya mengarah pada diri sendiri.
Kenyataannya
kita adalah hakim, algojo bagi jiwa kepunyaan sendiri. Apakah soal mengacungkan
jari pada pengemis tua bernanah dan kotor, mengutuk orang tua karena tak
dikabulkan keinginan, memusuhi kawan yang tak seideologi atau menjilat bokong
penguasa untuk kelangsungan hidup keluarga. Semua orang punya alasan, motif dan
modus operandi dalam mencapai kehidupannya. Seorang koruptor pun yang sering
dicaci karena perbuatan hinanya, disumpahi setengah mati, bisa jadi melakukan
hal bejat karena hidup telah terlalu kejam padanya, padahal ia hanya
menjalankan tugas sebagai tulang punggung keluarga. Demikian halnya seorang
yang dicap sebagai teroris, diperli karena mengacaukan stabilitas kerukunan,
diasingkan keluarganya karena takut tertular virus yang sama atau anak-anaknya
jadi buah bibir sebagai anak pembuat onar. Bisa jadi ia hanya memperjuangkan
apa yang diyakininya benar, apa yang ia ketahui tentang borok dan agenda
tersembunyi, ideologi yang mengharuskannya untuk tak diam.
Pada
akhirnya, telunjuk yang kita arahkan pada pihak lain, sebenarnya mengarah pada
diri sendiri. Soal kebenaran, tentang cahaya yang tersembunyi dari tirai
kegelapan, perihal hati yang tak bisa diukur kedalamannya, hanya diri sendiri
dan sang Pencipta yang mengetahui, sebab kita adalah hakim bagi diri sendiri. Justifikasi
pada sekeliling berdampak pada adaptasi sikap dan perilaku. Jadi perhatikan
telunjukmu! Mungkin saja telunjuk yang diarahkan mengacu pada si empunya, karena
batu yang telanjur lepas, tak bisa ditarik kembali.
0 comments:
Posting Komentar