Dini hari, pukul satu seperempat,
bangku-bangku di kedai kopi masih ramai. Aroma tembakau, kopi dan aneka masakan
bercampur, menimbulkan bau khas. Kikan menengok puluhan kepala di sekelilingnya.
Semua sibuk dengan dunianya masing-masing. Ada yang terkikih-kikih sendiri,
mungkin sedang menonton cuplikan video lucu di ponsel pintarnya, ada juga yang
serius berbincang-bincang, entah apa yang dibicarakan mereka. Kikan menebak
tentu pembicaraan berat, seperti mengomeli pemerintah yang kerap dikambinghitamkan
karena perekonomian yang merosot. Ada pula sekawanan orang yang
berteriak-teriak memarahi komentator sepak bola karena keseleo lidahnya menyudutkan
tim kesayangannya.
Terlepas dari riuh dan bisingnya
suasana di permulaan hari, kikan paling tertarik dengan tontonan yang tak
biasa. Perhatiannya sepenuhnya tercurah pada sosok manusia jangkung pada meja
di pojok kiri. Hanya berjarak satu setengah meter darinya. Kikan dan pria itu
dibatasi meja kosong. Seminggu ini, Ia bersemangat mendatangi warung kopi, hanya
untuk melakukan pengamatan pada “pria pojokan”, begitu kikan menamainya. Tak
ada yang benar-benar jelas dari kekagumannya pada pria itu. Dari tampang saja,
pria itu jauh di bawah standar selera perempuan masa kini. Jika diukur
berdasarkan skala, nilai tampilannya; dua dari sepuluh. Jauh dari kata tampan
dan memikat.
Balik menyeruput kopi hitam di
samping laptopnya, kikan berupaya menikmati rasa pahit di lidahnya. Ia bukan
pencinta kopi seperti “makhluk malam” yang biasa nongkrong di warkop hingga
pagi. Seleranya dipaksakan mengikuti pria pojokan, padahal ia lebih senang
menikmati teh panas dibanding cairan pahit, hitam dan sama sekali tidak
artistik seperti teh. Jika dipikir-pikir, daya magnet pria itu hanya satu.
Laki-laki itu penulis, dan kikan terobsesi dengan cerita yang ditulisnya dalam
sebuah blog. Tiap kali membaca isi tulisannya, kikan beranggapan bahwa dia dan
pria itu terhubung. Sebuah logika sederhana, Kikan gemar mendengarkan cerita
pengalaman orang lain, sedang pria itu sering menulis. Mereka memiliki hobi
yang beda tapi memiliki hubungan simentris, pembaca dan penulis.
Dua jam berlalu, pria itu
menungkup kepala di kedua punggung
tangan yang ia parkir di atas meja. “Tampaknya ia sedang beristirahat”, pikir
kikan. Iseng-iseng, kikan melihat-lihat postingan terbaru si pria pojokan.
Lagi, sebuah cerita ia selesaikan hari ini. Judulnya, “Ilusi dini hari”.
Ceritanya bersetting suasana warkop, suasana yang tenang dengan rinai hujan dan
musik klasik yang diputar pengelola warkop. Ia bercerita tentang seorang
perempuan yang menarik perhatiannya sejak sebulan yang lalu. Kikan membaca
perlahan-lahan paragraf pembuka cerita.
Perempuan itu mengenakan kerudung hitam malam ini, tak seperti
malam-malam sebelumnya yang berwarna cerah. Mungkin dia sedang berkabung, atau
aku yang terlalu merisaukan penampilan makhluk gemulai itu. Berbatasan hanya
satu meja dariku, perempuan itu membuat degup jantungku tak menentu. Baru kali
ini dia sedekat ini. Rinai hujan yang memukul-mukul beranda dan alunan tipis
musik klasik yang diputar karyawan warkop menambah romantis suasana. Dia
menawan laksana bintang, indah tapi tak tersentuh. Dia dan aku bagai langit
maha luas dan binatang melata. Mirip lagu-lagu cinta, aku hanya pengagum yang
mampu bersenandung dengan tulisan. Matanya memiliki cahaya yang sama dengan
mataku. Cahaya yang dapat kau lihat jelas pada setiap manusia yang sedang
kasmaran. Cahaya kekaguman pada seseorang.
Kikan menghela nafas panjang,
memandang dengan takjub laki-laki yang juga mengagumi dirinya, seperti halnya
dia. Pria itu luar biasa, andai saja ia memiliki secuil keberanian unttuk
mendekati kikan, tentu saat ini mereka tengah berbincang ria. Pertaruhan ini
sebenarnya sederhana, Kikan berada selangkah lebih maju dibanding pria pojokan.
Ia lebih dulu tentang kekaguman keduanya pada diri mereka masing-masing.
Seandainya pria itu tidak menulis di blognya, tentu sekarang lain soal. Kikan
merasa lebih terancam daripada sebelumnya, pengetahuan tentang kekaguman pria
itu menyandera dirinya, mengurung niat yang sebelumnya sederhana menjadi rumit.
Ia yakin betul perempuan dalam cerita itu adalah dirinya.
Hujan jatuh semakin deras tepat
beberapa detik setelah Kikan selesai meneguk tetesan terakhir dari kopi hitam
pekatnya. Tangan kanannya menyingkap kemeja yang menghalangi arlojinya, sebentar
lagi pagi. Diliriknya pria pojokan yang masih terlungkup di balik jaket
gelapnya. Kikan menyesalkan kekagumannya yang kini bermetamorfosis menjadi
perasaan jijik, muak akan kepengecutan seorang yang menyandang gelar laki-laki.
Kikan menyusun tekad, membelah hujan dan melampiaskan seluruh perasaannya pada
titik-titik air dengan sepeda motornya.
0 comments:
Posting Komentar