Kemarin kau menjanjikan pertemuan, di bangku panjang danau berhampiran dengan gerbang pembatas kota. Kali ini kau berani memilih tempat, sebab katamu kau akan memperlihatkan padaku, benang takdir yang menyimpulkan kita dahulu. Sore hari ini, kau datang dengan girang. Berlari-lari kecil sambil menggendong Levi, biola kesayanganmu. Sebenarnya aku tak menyukai kau menamainya, nama seorang pria yang dulu memberikan biola usang itu. Begitu jelasmu padaku dulu.
“Jangan bermain dalam pertempuran yang tak dapat kau menangkan!” kata-kata itu sering kudengar saat kau bercerita tentang kontes musik klasik. Aku diam saja kala itu, bukan berarti aku tak menyimak. Diriku yang sekarang hanya tak memahaminya. Aku bukan pria yang senang berkompetisi sepertimu, sebabnya aku takut kekalahan. Rasanya benar-benar menyakitkan. Dengan musik, kau banyak mengalami kemajuan. Keliling kota, bertemu bermacam jenis manusia, meraih kesenangan dan kebahagiaan dengan Levi, biola kesayanganmu. Aku hanya tak paham, mengapa benang takdirku terikat padamu. Aku pria yang biasa, datar dan tak romantis seperti pemuda masa kini. Sedang kau, perempuan idaman tiap laki-laki.
Hari ini, saat pertemuan kita. Kau tampak tak biasa, aku mengenali alunan biola sebagai representasi perasaanmu. Aku telah lupa caranya membaca not musik, apalagi menilai merdu tidaknya gesekan senar biolamu. Tapi hari ini kau memainkannya berbeda dari biasanya, kesedihanmu memuncak. Kau mungkin ketus padaku, yang tak pernah memuji nyanyian biola yang kau mainkan. Tapi bukan itu, aku hanya berhati-hati memujimu, sebab aku percaya kekuatan kata-kata. Aku ingin kau terkesan saat aku benar-benar memujimu, seperti kata maaf yang kuucapkan kemarin, mampu meredakan peperangan kita. Cuma belum saatnya. Mungkin kehati-hatianku yang membuat langgeng hubungan kita, yang membuatmu acuh pada pembicaraan teman-temanmu, bahwa kau memiliki selera jelek memilih laki-laki.
Hari ini, Sore yang sunyi, amat sunyi. Hingga kepakan merpati yang pulang terdengar keras, irama cipratan air dari kawanan ikan dan gambaran langit di danau yang terpantul sempurna. Kala itu kau menyandarkan kepala di bahuku yang kurus, aroma nafasmu tercium cukup jelas. Ketenangan yang tak biasa, seolah waktu berhenti kala itu. Sedikit demi sedikit, aku merasakan kehangatan air matamu mengucuri kemeja di dada kiriku. Kau menangis. Tangisan sunyi, tanpa nada, tak ada suara, tak ada desah, hanya air mata. Tangis kesedihan paling dalam yang pernah ku lihat, berwujud empati. Kepalamu sedikit demi sedikit dibasahi air mataku, tangis tanpa suara, tanpa desah, hanya air mata.
Dejavu. Aku pernah merasakan kehangatan ini, perasaan ini, dan pemandangan ini. Dengan garis awan senja yang bermotif sama, pakaianmu, bahkan posisi Levi yang berbaring di antara rerumputan. Kau mengangkat wajah, sepersekian senti hingga hidung kita bersentuhan. Kau mengelus-elus rambutku, pelan sekali kau membisikkan sesuatu, “kembalilah.”
Seketika, kilatan ingatan menyambar kepalaku. Benakku menampilkan puluhan gambar kutipan kejadian.
Aku melihat diriku mengapit biola, hadirin bertepuk riuh usai persembahan. Kau ada di antara puluhan hadiran dalam gedung tua. Gambaran selanjutnya menampilkan dua orang berpakaian preman menghadang kita di lorong sempit, aku berusaha melindungimu sekuat tenaga, sebelum akhirnya benda tajam menghantam batok kepalaku, seketika itu gelap… tak ada lagi gambar, hanya jerit tangisanmu dan suara sirine yang semakin lama semakin samar…
Aku terhenyak, diam dan memandangi matamu yang juga lekat terus memandangiku.
Danau memantulkan cahaya rembulan, di bangku taman, Kita bagai siluet, tak bergerak. Aku menangis haru, mengakui keangkuhanmu menunggu diriku yang tak jua kunjung tersadar. Tubuh ringkihku dengan cepat memelukmu yang kaku. Kau tak bergerak, hanya tatap yang penuh heran.
Aku membisik, “Terima kasih telah sabar menunggu. Aku kembali.”
Malam itu, di bawah langit yang bersih, nyaris tanpa awan, cahaya rembulan bersinar seperti pagi. Tangisan berubah, tak lagi senyap, isak tangis keduanya memenuhi seisi danau, membuat bergidik siapapun yang mendengarnya. Berulang kali perempuan itu menghabiskan tangisnya di bangku danau, tempat dua sejoli itu disatukan selama lima tahun dengan ikatan pernikahan. Pasangan musisi itu menghabiskan malam dengan tangis yang mirip sorak kebahagiaan. Biola tua yang tergeletak bersinar di sana, biola pemberian laki-laki itu pada kekasihnya, dulu sekali, lima tahun yang lalu.
0 comments:
Posting Komentar