DUA PULUH SATU SENJA

Ilustrasi

Seringkali ku temukan dirinya berbaring di sisi utara, sudut tersunyi dari pantai. Rambutnya berurai menyentuh pasir putih, dengn kaki telanjang yang sengaja ia benamkan setengah pada air laut. Ia gemar memandang bintang-bintang, kala beberapa  sejoli bergandengan bergumam tentang keindahan senja. Acapkali pula aku tak segera menemuinya. Duduk santai di balik sampan tua, sambil mengamati dirinya tertidur di atas pasir.

‘’Aku mencintai langit’’. Begitu ujarnya padaku saat pertemuan pertama kami. Namanya Elsa. Mirip nama Guru Bahasa Inggrisku dulu yang digemari mata pelajarannya karena piawai menjinakkan pemuat onar di kelas. Jika dipersentasekan, Elsa yang ini tak cukup jauh perbedaan kecantikannya. Kadang cukup lama kuamati, ketika berbaring di ribaan pantai, ia mirip seperti orang tidur. Kadang berjam-jam berbaring, hingga adzan isya berkumandang.

Seminggu setelah perkenalan, kami kerap kali bertemu di warung kopi. Di pojokan merapat dengan jendela, di situlah kami biasa ngobrol. Aku banyak bercerita tentang tempat-tempat yang sudah kukunjungi,  tentang betapa aku menikmati pekerjaanku sebagai pewarta foto, dan sedikit menyinggung soal hobi dan bacaan kegemaranku. Tak jauh beda dengan Elsa, dirinya banyak bicara soal panjang perjalanan dan ribuan manusia yang telah dijumpainya, keindahan pantai yang sering dikunjunginya, dan hobinya mengamati objek langit. Ia seorang pekerja lepas, kadang menjajakan tulisannya mengenai objek wisata di belahan nusantara, mendesain kartu ucapan, foto pantai yang sering dikutipnya, apapun itu yang penting bisa membiayai hidupnya yang tak menetap.

Beberapa hari berselang, aku dihubungi bang Jonah, atasanku di kantor. ia memuji beberapa foto pantai yang baru saja kukirimkan padanya. Bang Jonah minta untukku menyiapkan sebuah foto pantai tersebut, dengan model.

‘’ Peralatan, latar dan model, kau saja yang tentukan, soal ongkos nanti sya kiirimkan. Tolong ya Min’’. Begitu pesan terakhirnya sebelum talian terputus. Aku dibuat pusing tujuh keliling. Bang joanah memang sering jadi buah bibir sebagai ‘’manusia dadakan’’, selalu memberikan tugas sulit di waktu paceklik. Kalo peralatan dan kelengkapan lain enteng saja kusiapkan. Tapi mencari model masalahnya, tingkat kecantikan seorang model berbanding lurus dengan rupiahnya. Apalagi sekelas desain sampul depan, sensitifitas dan nilai estetika sinergis dengan nilai beli pembaca. Namun, jangankan menyeleksi, menangani dan menghadiri rapat penentuan model pun aku tak pernah.

Sebelum senja, aku mendatangi pantai lebih awal. Pikiran kalut ini perlu kuurai dengan rekreasi ringan. Aku teringat ritual yang biasa dikerjakan Elsa, dan kupraktikkan. Ada perasaan damai saat pundakku menyentuh gundukan pasir, aroma garam dari partikel air laut dan bentang langit menyihir pikiranku yang kusut menjadi senyap, tenang dan hening. Burai ombak membisik di telingaku, pasir memilin di pundak dan kepalaku berhias angin sejuk dengan jajaran sayup bintang senja. Ini bentangan pemandangan yang terhebat dalam hidupku. Aku tersenyum sendiri, batinku menggumam ‘’Aku mencintai langit’’.

Tak berapa lama, sepasang tangan menutup kedua pandanganku. Aku membiarkannya, tangan itu tetap tak berganjak, menunggu untukku menebak pemiliknya.

‘’Elsa?’’ tangan mungil itu terlepas, membuka kembali pandanganku.

‘’lah, kok tau?’’

‘’aku tak punya kenalan siapapun di sini selain kau’’

Elsa tersenyum. Ia menekuk lutut, berjongkok di sebelah kananku, rambutnya tergerai ditiup angin menyisakan bau harum yang khas. Cukup lama suasana terdiam, masing-masing kami tengah berdialog dengan laut, dengan bahasa yang hanya kami yang memahami. Sekilas kulirik Elsa, lagi-lagi aku terpesona keanggunannya. Momen saat itu begitu tepat, aku menyesal tak membawa kameraku. Ia memejamkan matanya, tersenyum namun bukan senyum biasa. Pipinya memantulkan jingga bias langit senja, dengan rambutnya beralun-alun diterpa sepoi. Detik itu, waktu berhenti. Inderaku memotret Elsa, membekukan waktu.

“Ada apa?’’ Elsa memergokiku

“Aku sempat berpikir, kalau….’’ Tiba-tiba saja sekelebat ide brilian terlintas di pikiranku. Aku bangun tergesa-gesa.

“El, kau mau jadi modelku?’’

Perempuan itu tertawa lepas. Ia menyentuh pundakku, menyibak-nyibak bulir pasir yang masih menempel di bahu dan kepalaku.

‘’ada-ada saja kau ini’’

‘’Aku serius El.’’

Matanya membeliak. ‘’ serius?’’ tanyanya

‘’yap. Aku diperintah atasan untuk memotret pantai ini untuk dijadikan sampul majalah. Masalahnya di sini aku tak punya kenalan untuk mencarikanku seorang model. Kau mau kan?’’

‘’hah? Sampul?’’

Aku mengangguk. Menunggu respon dari air mukanya yang mulai menanggapi serius tawaranku. ‘’lumayan loh untuk biaya hidup sepekan, mungkin sebulan.’’

Elsa mengusap-usap pelipisnya. Ia tampak berpikir keras. Mataunya bolak balik memandangiku dan kemudian laut.

‘’Ok. Boleh.’’ Ia memamerkan barisan gigi putihnya.

Aku senangnya bukan main. Tugas rumitku akhirnya mendapatkan jalan keluarnya.

“ Sip. Besok pukul empat sore, boleh?”

“aye sir.”

***

Majalahku hari ini terbit. Aku ingin sekali memperlihatkan padanya, betapa anggun Elsa dengan gaun putih, menyatu dengan warna pasir, kontras dengan biru laut dan langit yang bersih. Tiap kali kupandang majalah itu, ingatanku kembali pada detik pemotretan. Elsa sengaja kuarahkan untuk memilih pose yang  menurutnya tepat. Ia kaget bukan kepalang.

“kau terlalu banyak memberiku pekerjaan,” gerutunya sambal memilin ujung rambut dengan kedua tangannya.

Ekspresinya begitu alami, dengan sikap  malu-malu yang menndakan kekuatan sisi feminimnya. Dengan sigap pose itu langsung kutangkap dengan lensa kamera.

“Eh-eh… nanti dulu, aku belum siap…” Elsa kaget bukan kepalang ketika lampu kilat kamera menyambarnya.

“Ok. Taka pa El, ini sudah cukup,”aku mengacungkan jempol padanya.

Ia cemberut, mungkin menganggapku tengah memainkannya.

Senja itu adalah senja yang ke dua puluh satunya kami bersama. Aku menikmati kbersamaan kami, sebelum akhirnya Elsa menitipkan surat padaku lewat resepsionis hotel. Isinya membuatku cukup terpukul.

Kepada

Sahabat 21 Senjaku

Armin.



Kau mungkin masih ingat pertemuan pertama kita yang mengejutkan. Terus terang pada saat itu kedatanganmu cukup menggangguku. Aku sama sekali tak toleren dengan siapapun yang mengganggu waktu istirahatku. Tapi kau doyan ngoceh, bicara banyak soal keajaiban dan keindahan alam. “Kita bisa bicara dengan alam,” begitu konyol pembicaraan kita saat itu.aku selalu tertawa sendiri jika mengingatnya.

Lewat surat ini aku ingin membuat pengakuan. Kebersamaan kita yang terhitung genap 21 hari ini banyak mengajarkan padaku pemahaman seorang lelaki. Melalui dirimu aku mengenal perpaduan maskulinitas dan feminism. Kita adalah senyawa yang berbeda, namun saling melengkapi. Jika malam usai, aku terbangun dengan dada sesak, kepala pusing, dan perasaanku seakan mencari sesuatu yang hilang. Jika menemuimu, perasaanku berangsur baik.

Lambat laun aku sadar. Perasaan ini, kegelisahan ini adalah hal yang familiar, akrab kutemui. Hatiku telah tertaut padamu.

Jika kekuatan kata “seandainya” dapat merubah rangkaian waktu, mungkin saat ini segera akan kugunakan untuk memutar kembali adegan kisah hidupku. Seandainya… kalau saja kau datang lebih cepat ke dalam hidupku, mungkin semua tak akan sia-sia. Tapi… kenyataan yang menyakitkan adalah ungkapan seandainya tak lebih dari sekadar kata, bentuk penyesalan yang kuharap kata itu tak akan terucap lagi di mulutku dan pada lisanmu.

Maafkan aku, Armin. Meski kata maaf tak cukup, harus tetap aku sampaikan, agar kau mengenali kebenaran, meski terecap pahit pada kenyataan. Suatu saat, mungkin kita akan bertemu lagi, tapi kuharap itu tak akan terjadi, mugkin di kehidupan yang akan datang, di saat kau dan aku dalam keadaan bisa saling menerima.

Sekali lagi, maaf Armin. Aku telah bersuami.



Elsa.

0 comments:

Posting Komentar