Ilustrasi |
Seringkali ku temukan dirinya
berbaring di sisi utara, sudut tersunyi dari pantai. Rambutnya berurai
menyentuh pasir putih, dengn kaki telanjang yang sengaja ia benamkan setengah
pada air laut. Ia gemar memandang bintang-bintang, kala beberapa sejoli bergandengan bergumam tentang keindahan
senja. Acapkali pula aku tak segera menemuinya. Duduk santai di balik sampan
tua, sambil mengamati dirinya tertidur di atas pasir.
‘’Aku mencintai langit’’. Begitu
ujarnya padaku saat pertemuan pertama kami. Namanya Elsa. Mirip nama Guru
Bahasa Inggrisku dulu yang digemari mata pelajarannya karena piawai menjinakkan
pemuat onar di kelas. Jika dipersentasekan, Elsa yang ini tak cukup jauh
perbedaan kecantikannya. Kadang cukup lama kuamati, ketika berbaring di ribaan
pantai, ia mirip seperti orang tidur. Kadang berjam-jam berbaring, hingga adzan
isya berkumandang.
Seminggu setelah perkenalan, kami
kerap kali bertemu di warung kopi. Di pojokan merapat dengan jendela, di
situlah kami biasa ngobrol. Aku banyak bercerita tentang tempat-tempat yang
sudah kukunjungi, tentang betapa aku
menikmati pekerjaanku sebagai pewarta foto, dan sedikit menyinggung soal hobi
dan bacaan kegemaranku. Tak jauh beda dengan Elsa, dirinya banyak bicara soal
panjang perjalanan dan ribuan manusia yang telah dijumpainya, keindahan pantai
yang sering dikunjunginya, dan hobinya mengamati objek langit. Ia seorang
pekerja lepas, kadang menjajakan tulisannya mengenai objek wisata di belahan
nusantara, mendesain kartu ucapan, foto pantai yang sering dikutipnya, apapun
itu yang penting bisa membiayai hidupnya yang tak menetap.
Beberapa hari berselang, aku dihubungi bang Jonah, atasanku
di kantor. ia memuji beberapa foto pantai yang baru saja kukirimkan padanya.
Bang Jonah minta untukku menyiapkan sebuah foto pantai tersebut, dengan model.
‘’ Peralatan, latar dan model,
kau saja yang tentukan, soal ongkos nanti sya kiirimkan. Tolong ya Min’’.
Begitu pesan terakhirnya sebelum talian terputus. Aku dibuat pusing tujuh
keliling. Bang joanah memang sering jadi buah bibir sebagai ‘’manusia
dadakan’’, selalu memberikan tugas sulit di waktu paceklik. Kalo peralatan dan
kelengkapan lain enteng saja kusiapkan. Tapi mencari model masalahnya, tingkat
kecantikan seorang model berbanding lurus dengan rupiahnya. Apalagi sekelas
desain sampul depan, sensitifitas dan nilai estetika sinergis dengan nilai beli
pembaca. Namun, jangankan menyeleksi, menangani dan menghadiri rapat penentuan
model pun aku tak pernah.
Sebelum senja, aku mendatangi
pantai lebih awal. Pikiran kalut ini perlu kuurai dengan rekreasi ringan. Aku
teringat ritual yang biasa dikerjakan Elsa, dan kupraktikkan. Ada perasaan
damai saat pundakku menyentuh gundukan pasir, aroma garam dari partikel air
laut dan bentang langit menyihir pikiranku yang kusut menjadi senyap, tenang
dan hening. Burai ombak membisik di telingaku, pasir memilin di pundak dan
kepalaku berhias angin sejuk dengan jajaran sayup bintang senja. Ini bentangan
pemandangan yang terhebat dalam hidupku. Aku tersenyum sendiri, batinku
menggumam ‘’Aku mencintai langit’’.
Tak berapa lama, sepasang tangan
menutup kedua pandanganku. Aku membiarkannya, tangan itu tetap tak berganjak,
menunggu untukku menebak pemiliknya.
‘’Elsa?’’ tangan mungil itu
terlepas, membuka kembali pandanganku.
‘’lah, kok tau?’’
‘’aku tak punya kenalan siapapun
di sini selain kau’’
Elsa tersenyum. Ia menekuk lutut,
berjongkok di sebelah kananku, rambutnya tergerai ditiup angin menyisakan bau harum
yang khas. Cukup lama suasana terdiam, masing-masing kami tengah berdialog
dengan laut, dengan bahasa yang hanya kami yang memahami. Sekilas kulirik Elsa,
lagi-lagi aku terpesona keanggunannya. Momen saat itu begitu tepat, aku
menyesal tak membawa kameraku. Ia memejamkan matanya, tersenyum namun bukan
senyum biasa. Pipinya memantulkan jingga bias langit senja, dengan rambutnya
beralun-alun diterpa sepoi. Detik itu, waktu berhenti. Inderaku memotret Elsa,
membekukan waktu.
“Ada apa?’’ Elsa memergokiku
“Aku sempat berpikir, kalau….’’
Tiba-tiba saja sekelebat ide brilian terlintas di pikiranku. Aku bangun
tergesa-gesa.
“El, kau mau jadi modelku?’’
Perempuan itu tertawa lepas. Ia
menyentuh pundakku, menyibak-nyibak bulir pasir yang masih menempel di bahu dan
kepalaku.
‘’ada-ada saja kau ini’’
‘’Aku serius El.’’
Matanya membeliak. ‘’ serius?’’
tanyanya
‘’yap. Aku diperintah atasan
untuk memotret pantai ini untuk dijadikan sampul majalah. Masalahnya di sini
aku tak punya kenalan untuk mencarikanku seorang model. Kau mau kan?’’
‘’hah? Sampul?’’
Aku mengangguk. Menunggu respon
dari air mukanya yang mulai menanggapi serius tawaranku. ‘’lumayan loh untuk
biaya hidup sepekan, mungkin sebulan.’’
Elsa mengusap-usap pelipisnya. Ia
tampak berpikir keras. Mataunya bolak balik memandangiku dan kemudian laut.
‘’Ok. Boleh.’’ Ia memamerkan
barisan gigi putihnya.
Aku senangnya bukan main. Tugas
rumitku akhirnya mendapatkan jalan keluarnya.
“ Sip. Besok pukul empat sore,
boleh?”
“aye sir.”
***
Majalahku hari ini terbit. Aku
ingin sekali memperlihatkan padanya, betapa anggun Elsa dengan gaun putih,
menyatu dengan warna pasir, kontras dengan biru laut dan langit yang bersih.
Tiap kali kupandang majalah itu, ingatanku kembali pada detik pemotretan. Elsa
sengaja kuarahkan untuk memilih pose yang
menurutnya tepat. Ia kaget bukan kepalang.
“kau terlalu banyak memberiku
pekerjaan,” gerutunya sambal memilin ujung rambut dengan kedua tangannya.
Ekspresinya begitu alami, dengan
sikap malu-malu yang menndakan kekuatan
sisi feminimnya. Dengan sigap pose itu langsung kutangkap dengan lensa kamera.
“Eh-eh… nanti dulu, aku belum
siap…” Elsa kaget bukan kepalang ketika lampu kilat kamera menyambarnya.
“Ok. Taka pa El, ini sudah
cukup,”aku mengacungkan jempol padanya.
Ia cemberut, mungkin menganggapku
tengah memainkannya.
Senja itu adalah senja yang ke
dua puluh satunya kami bersama. Aku menikmati kbersamaan kami, sebelum akhirnya
Elsa menitipkan surat padaku lewat resepsionis hotel. Isinya membuatku cukup
terpukul.
Kepada
Sahabat 21 Senjaku
Armin.
Kau mungkin masih ingat pertemuan pertama kita yang mengejutkan. Terus
terang pada saat itu kedatanganmu cukup menggangguku. Aku sama sekali tak
toleren dengan siapapun yang mengganggu waktu istirahatku. Tapi kau doyan
ngoceh, bicara banyak soal keajaiban dan keindahan alam. “Kita bisa bicara
dengan alam,” begitu konyol pembicaraan kita saat itu.aku selalu tertawa
sendiri jika mengingatnya.
Lewat surat ini aku ingin membuat pengakuan. Kebersamaan kita yang
terhitung genap 21 hari ini banyak mengajarkan padaku pemahaman seorang lelaki.
Melalui dirimu aku mengenal perpaduan maskulinitas dan feminism. Kita adalah
senyawa yang berbeda, namun saling melengkapi. Jika malam usai, aku terbangun
dengan dada sesak, kepala pusing, dan perasaanku seakan mencari sesuatu yang
hilang. Jika menemuimu, perasaanku berangsur baik.
Lambat laun aku sadar. Perasaan ini, kegelisahan ini adalah hal yang
familiar, akrab kutemui. Hatiku telah tertaut padamu.
Jika kekuatan kata “seandainya” dapat merubah rangkaian waktu, mungkin
saat ini segera akan kugunakan untuk memutar kembali adegan kisah hidupku.
Seandainya… kalau saja kau datang lebih cepat ke dalam hidupku, mungkin semua
tak akan sia-sia. Tapi… kenyataan yang menyakitkan adalah ungkapan seandainya
tak lebih dari sekadar kata, bentuk penyesalan yang kuharap kata itu tak akan
terucap lagi di mulutku dan pada lisanmu.
Maafkan aku, Armin. Meski kata maaf tak cukup, harus tetap aku
sampaikan, agar kau mengenali kebenaran, meski terecap pahit pada kenyataan.
Suatu saat, mungkin kita akan bertemu lagi, tapi kuharap itu tak akan terjadi,
mugkin di kehidupan yang akan datang, di saat kau dan aku dalam keadaan bisa
saling menerima.
Sekali lagi, maaf Armin. Aku telah bersuami.
Elsa.
0 comments:
Posting Komentar