Diceriterakan
dalam sebuah prolog, seorang Petapa dalam perenungan panjang membawanya pada
pencerahan tentang makna kehadiran manusia dalam kehidupan. Dalam hati ia mulai
bertanya, apa gunanya segala khazanah pengetahuan bila hanya untuk kemanfaatan
pribadinya semata. “Wahai bintang agung! Apalah arti kebahagiaanmu seandainya
tak ada mereka yang kau sinari,” ia bermonolog. Terbawa pada tekad kuat
mengenai makna kehidupan, Petapa meninggalkan gua persemediannya, turun gunung
menemui manusia.
Demikian
prolog dalam untaian karya fenomenal Friedrich Nietzsche “Thus Spake
Zarathustra”, Sabda Zarathustra. Kurang lebih dalam kisah tersebut, Nietzche
berupaya menggugah satu nilai yang fundamental pada interaksi individu terhadap
kehidupan bermasyarakat. Sebuah langkah penyempurnaan kemanusiaan yang
disebutnya sebagai “Adi manusia”. Substansinya, adalah seberapa besar
sumbangsih individu dalam menciptakan kebaikan, tak semata pada kemanfaatan
pribadi.
Garis
batas keberpihakan adalah hal yang seringkali dipertanyakan dalam menanggapi
gejolak sosial. Respon tiap-tiap individu terhadap fenomena sosial umumnya
bervariasi. Argumentasi bisa saja saling bersilangan, berbuntut pada perdebatan
panjang mengenai cara pandang. Namun pada kesimpulannya, pendapat dan
argumentasi demikian bermuara pada dua pilihan, ya atau tidak. Pendikotomian
membuat tegas garis keberpihakan seseorang, membawa individu pada dua sikap;
sinisme atau simpatik.
Reaksi
terhadap fenomena sosial, aktor, simpatisan dan partisipan dilekatkan pada dua
fenomena permanen, yakni pencarian identitas dan pengakuan dari pihak lain.
Demikian menurut sosiolog kebangsaan Italia, Alessandro Pizzorno. Interpretasi
yang berkaitan dengan logika tindakan dan ikut andilnya individu dalam suatu
fenomena sosial bukanlah hal yang berkonotasi negatif. Hal ini perlu dipandang
sebagai bentuk kebebasan individu dalam menentukan sikap, bukan sebagai ajang
penghakiman seperti fenomena pencitraan yang marak dipraktikkan akhir-akhir
ini.
Harus
diakui, tentang posisi keberpihakan, ketegasan mengambil sikap dalam menanggapi
fenomena sosial, telah terbangun stigma di dalamnya. Jurus andalan yang
diterapkan oleh aktor politik di atas papan catur perpolitikan di Indonesia
bernama pencitraan. Fenomena kongkret dapat diamati akibat dari pesta demokrasi
pada pemilihan presiden lalu. Presiden Joko Widodo kerap disebut sebagai tokoh
penemu “Blusukan”. Sebuah langkah mendekatkan diri terhadap masyarakat, sosok
pemimpin yang merakyat adalah sosok yang menjadi idaman dalam mimpi panjang
bangsa ini. Keefektifan langkah blusukan tersebut terbukti dengan terpilihnya
sosok Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke tujuh.
Walaupun
demikian, bias dari blusukan mulai nampak pada tindakan-tindakan pejabat Negara
dan respon masyarakat. Praktek serupa seringkali diterapkan untuk meraih
simpati warga, bahkan batasan mengenai kewajiban pejabat Negara untuk mengayomi
masyarakat semakin samar. Tak ada akting blusukan yang terjadi jika tak
tertangkap lensa kamera jurnalis. Akibatnya, kepercayaan masyarakat bukan
semakin baik, lebih dari itu, ada semacam kesan yang melekat, bahwa segala
tindakan pejabat publik yang diliput media memiliki agenda tersembunyi di
belakangnya. Tak ada lagi tindakan yang benar-benar murni untuk kesejahteraaan
rakyat. Ada dalih pencitraan yang melekat pada pola pikir masyarakat, tak ada
tindakan yang benar-benar tulus untuk membangun bangsa.
Demikian
halnya dalam praktek kehidupan kemahasiswaan. Ada dua sikap yang terbangun
jelas saat menanggapi gejolak sosial. Sinisme atau simpatik. Sinisme
mengartikan sikap dan tindakan aktor dalam gerakan sosial sebagai tindakan yang
sia-sia, memandang rendah dan berprasangka buruk bahwa tindakan tersebut
dilakukan untuk meraup keuntungan pribadi dan kelompok. Simpatik adalah lawan dari
sinisme, pihak-pihak yang berpandangan bahwa tindakan demikian merupakan sebuah
bentuk dukungan yang bermuara pada kepentingan bersama. Bagi yang gemar
mengamati hiruk-pikuk kampus, tentu menemukan kedua enigma tersebut. Tak
mengherankan ruang-ruang diskusi lepas terkait wacana sosial dan kemasyarakatan
amat sulit ditemui di lingkup kampus. Padahal notabenenya peserta didik
perguruan tinggi menanggung “utang” pengabdian kepada masyarakat.
Umumnya
tak hanya peserta didik, pendidik bahkan masyarakat pun mulai terserang sindrom
yang sama. Hal ikhwal demokrasi dan kebebasan berpendapat menjadi persoalan
besar dewasa ini. Aturan mengenai tata tertib kehidupan kampus tak diimbangi
dengan hak-hak mahasiswa dalam menuntut haknya. Pengelola dan pejabat kampus berbekal
instrumen regulasi, cenderung sepihak dalam menerapkan kebijakan yang
menimbulkan bias di kalangan mahasiswa. Gema dan riak-riak penolakan dianggap
sebagai langkah pembangkangan, dan secepat mungkin harus diamputasi. Di lingkup
masyarakt pun tak kalah memprihatinkan. Demonstrasi menjadi kesan buruk,
dianggap mengganggu stabilitas lalu lintas dan perekonomian lokal. Akrab di
telinga para demonstran kata-kata hujatan, ungkapan kejijikan bahkan terkadang
massa aksi harus berdepan dengan amukan warga.
Lalu
bagaimana halnya bagi pihak yang bereaksi di luar daripada sikap sinisme dan
simpatik? Golongan yang selalu memposisikan diri sebagai “orang tengah” dengan
menawarkan langkah solutif, hasil dari pertarungan kedua kubu?
Ulasan
menarik di sampaikan Goenawan Mohammad dalam catatan pinggirnya edisi 9
Desember 1978, Ekstrim dan Moderat. Goenawan menglasifikasikan pihak tersebut
sebagai “orang-orang tanpa warna.” Meski baginya hal tersebut tidak salah,
melainkan pengejawantahan dari keberanian untuk berpikir bebas, yang juga
merupakan sebuah pilihan. Justifikasi mengenai warna, keberpihakan, demarkasi
adalah tanggungan bagi konsekuennya. Sebagaimana pandangan Jean P Sartre bahwa
manusia merealisasikan dirinya dalam kebebasan pilihannya. Berani memilih
berarti siap untuk dipilih. Dipilih sebagai lawan ataupun kawan. Lebih baik,
ketimbang dianggap tak pernah ada dalam lingkaran dan sirkulasi sosial.
Mengenai
rumusan tindakan dan garis keberpihakan, Ali bin Abi Thalib Ra punya sebuah
petuah yang bijak. “Kenalilah kebenaran, maka pastilah engkau akan
mengenal, siapakah yang berada pada pihak yang benar”.
Uploaded on
eksepsionline.com
9 December 2016
0 comments:
Posting Komentar