“Apa arti kebahagiaan untukmu? Uang, Jabatan, Sex? Aku sudah pernah lalui semuanya.” Ros mengatakan sesuatu yang sebenarnya adalah juga pertanyaanku.
“ Tak tau. Bisa jadi salah satunya.”
Ros tergelak. Senyumnya menyindir. Ia kembali menawariku
kretek yang dimainkan bungkusnya dari tadi. Sambil menyulut, ia bercerita
tentang perjalanannya menaklukkan puncak Semeru.
“Di sini, aku merasa hidup. Kebahagiaan itu artifisial,
San.”
Kali ini aku yang tergelak. Untuk apa banyak bicara soal
berkelana, tentang makna kebahagiaan yang sebenarnya, jika memang perasaan
dapat direkayasa.
“Maksudmu,kebahagiaan dapat diciptakan sendiri? Lalu, tak
perlu kau jauh-jauh ke Indonesia dong.”
Perempuan itu kembali tersenyum. Memamerkan jajaran giginya
yang tersusun rapi.
“San, apa kau bahagia?
Aku menganggat pundakku. Bagiku tak peduli soal bahagia atau
tidak, kehidupan yang keras pernah kulalui sebelum mendapatkan pekerjaan. Aku
sangat hapal bagaimana rasanya ditolak berkali-kali saat melamar kerja.
Rose membiarkanku hanyut
memikirkan pertanyaannya. Mungkin itu bukanlah pertanyaan, melainkan sebuah
jawaban. Pernahkah kita berbahagia dengan pola hidup yang dijalani saat ini,
atau rutinitas semata untuk memenuhi kebutuhan hidup? Pertanyaan yang sama
selalu muncul saat aku memanjat puncak, menaklukkan belantara, atau berkelana
ke luar kota. Untuk itulah kulakukan semua ini.
Aku mengamati perempuan muda di
sampingku. Kami baru saja kenal beberapa jam yang lalu, saat secara kebetulan
berpapasan menanjakkan kaki di puncak Gunung Bawakaraeng. Rose adalah seorang
gadis asal Prancis, meski warga asing, dia sangat fasih berbahasa Indonesia.
Awal perkenalan, aku sampai terkagum-kagum dibuatnya. Kami duduk saling berhadap
di dekat perapian, menghangatkan badan dari udara sejuk yang menusuk sampai ke
tulang.
“Ros, berapa tempat yang telah
kau lalui sebelum sampai ke sini?”
Rose berpikir. Menghitung-hitung
dengan jari kedua tangannya.
“Ah… sepertinya terlalu banyak.
Aku tak pernah menghitungnya.”
“Jadi, yang kau sebut kebahagiaan
itu, apakah sudah kau temui?”
“No… Not yet. Tapi aku banyak menemui orang yang menemukannya. Aku
banyak belajar dari hasil perbincangan begini.”
Aku mengangguk-angguk meski tak
paham benar apa yang ia maksudkan.
Beberapa pendaki mulai
berdatangan. Puncak jadi semakin ramai. Aku sadar betul banyak mata yang tengah
tertuju ke arah kami, atau tepatnya Rose. Fenomena seorang bule cantik naik
gunung lumayan langka, apalagi seorang gadis cantik.
“Orang-orang memerhatikan kita
ya?” Rose balik bertanya padaku.
Aku mengiyakan. “kau terganggu?”
“No. perhaps I can be an
Actress.” Rose melucu
Aku
merasa sangat nyaman dengan perbincangan kami. Untuk perempuan seusianya, Rose
cukup banyak memiliki pengalaman tentang perilaku manusia. Ia adalah teman
bicara yang diinginkan semua orang. Meski pada wajahnya yang rupawan, aku bisa
membaca berat beban kehidupan yang pernah dia lalui. Tentunya Rose pernah
melalui masa-masa sulit menjalani hidup.
“Sebentar lagi malam. Baiknya
kita persiapkan tenda.”
Rose mengangguk.
“ I really enjoy this conversation.”
“Me too. Jika berjodoh, kita pasti ketemu lagi.”
Rose melambaikan senyum
perpisahan. Aku meninggalkanya sendirian di dekat perapian, berharap ada yang
menggantikan diriku menemaninya bercerita.
0 comments:
Posting Komentar