Ilustrasi ; gettyimages.com |
Jalanan semakin padat
dengan bermacam jenis kendaraan. Jeritan mesin kendaraan bermotor menyengat
telinga, berdentum pada dinding bangunan, bersahut-sahutan, saling melantun.
Pada meja di sudut cafe, merapat dengan jendela yang berhadapan langsung dengan
muka jalan, tampak dua sejoli larut dalam kebisuan. Radiasi sinar senja mendarat
di atas meja kaca. Kopi, bundel, hamparan kertas, aroma kretek bersama dua insan yang tersesat pada
belenggu takdir dan kisah mereka yang rumit, tertuang dalam sekumpulan naskah
yang menjadi ujung penantian dari segala penantian.
1
Aku dapat
membayangkan betapa sesaknya udara di luar. Beruntungnya, tak lebih sebulan
telah resign dari perusahaan tempatku bekerja dulu,
super sibuk, dan betapa kondisi seperti di luar saat ini melatih kesabaran dan
kerap membuatku memaki rambu lalu lintas.
Saat pemikiran
masih bernostalgia, aku melirik perempuan berada tepat hadapanku saat ini,
namanya Karina. Wajahnya teduh, tinggi semampai, kurang lebih hampir sama
denganku. Bedanya, badannya lebih "berisi" dariku yang kerempeng dan
kurang gizi. Satu hal yang kusukai dari Karina adalah kesederhanaannya. Tak
pernah sekalipun kulihat ia menggunakan kosmetik, tak memakai parfum, dan selalu
sederhana dalam berbusana. Jauh dari penampilan impian perempuan muda masa
kini. Hanya sedikit pelembab bibir dan kacamata berbingkai biru yang
menggantung di punggung hidungnya hari ini. sebab mungkin hari ini spesial bagi
aku dan dia, hari perampungan naskah novel yang kami garap bersama.
Karin
menyadari gelagatku, matanya menatap tajam ke arahku yang sesaat sebelumnya
terfokus pada tumpukan kertas di atas meja.
“mau sampai
kapan kau memandangku?” jelasnya dengan nada mengejek.
“Bukan..bukan.
tampilanmu agak aneh hari ini.” aku berusaha menangkis prediksinya.
“apanya
aneh?””
“kau make
pelembab bibir kan?”
Aku menang,
Karin kelihatan malu-malu kucing menjawab. Wajahnya memerah.
“Dasar. Tidak
sopan”
Aku cekikikan.
Setiap
pertemuan kami, aku seringkali mengerjainya seperti saat ini. Ekspresinya yang
polos dengan wajahnya yang cepat memanas membuat dirinya sangat jelas untuk
dibaca.
Karina
melanjutkan aktivitasnya membolak-balik halaman kertas, sesekali memberi stiky note, dan menandai
beberapa kalimat dengan pulpen merah. Karina adalah perempuan serius, selalu
terlihat istimewa dalam pandanganku.
2
Menjengkelkan!
Aku selalu
kesal ketika Erwin memainkan perasaanku dengan cara demikian. Menyinggung soal
tampilan, cara berpakaian, memuji ketelitianku membedah bacaan favoritnya
bahkan mencuri pandang mengamatiku. Terus terang, sebenarnya aku senang. Hanya
saja, perlakuannya kadang berlebihan.
Mengingat
pertemuan pertamaku dengannya, Hari itu adalah momentum perayaan hari buku pada
festival buku nasional yang diadakan di danau dekat kampus. Temannya, Rani
adalah rekan se-kepengurusanku di salah satu lembaga kemahasiswaan tempatku
aktif berorganisasi saat masih duduk di bangku kuliah. Kami berkenalan sejak
itu, dan tak kusangka pertemanan kami masih bertahan sampai saat ini.
Aku tak mau
naif dan membodohi perasaan. Aku menyukai Erwin, dan dirinya pun kuyakin
begitu. Kami terikat pada perasaan yang sama. Pacaran atau apapun sebutannya di
era sekarang menurutku terlalu mainstream,
tak cocok untuk manusia
berpandangan bebas sepertiku. Kami
sepaham dengan itu, aku yakin betul, dia pun memiliki rasa yang sama, instingku
menegaskan demikian.
Setiap hari
kami selalu mengagendakan pertemuan. Sekedar berbagi kisah selama kuliah,
membahas isu-isu kampus dan yang paling sering barter bacaan. Meskipun ini hanya kedok untuk mempertahankan
intensitas pertemuan kami.
Banyak hal
yang kupelajari dari pribadi seorang Erwin. Dia adalah pembaca yang telaten,
juga penulis yang handal mengolah kata. Dengan potensi yang dimilikinya, dan
untuk mempertahankan pola komunikasi dan relasi yang telah kami bangun, aku
menawarkan diri menjadi editor tulisannya.
Selang
beberapa waktu kolaborasi kami, puluhan karyanya seringkali terbit di media
lokal bahkan beberapa karyanya diterbitkan dalam oleh penerbit buku yang
terkenal mencetak penulis-penulis legendaris. Prestasi yang menempatkan dirinya
dijuluki sebagai penulis muda. Ia seringkali mendapat undangan sebagai
pembicara pada festival kepenulisan.
Satu hal
membuatku bangga dengannya adalah ia tak pernah lupa denganku. Setiapkali
mengikuti acara, dan hadir sebagai pembicara, dia turut mengundangku. Dan
selalu kalimat yang ia ucapkan kepada khalayak membuatku ingin menangis haru.
“Karian
adalah sosok di balik kesuksesan yang kuraih. Dia adalah teman diskusi,
pengkritik yang kejam, alarm dan nenek lampir yang sering muncul di mimpiku
meneriakkan kata deadline,”
Tiap ku ingat
kisah kami, mataku selalu tergenang, sembab. Saat ini pun begitu, memalukan.
Aku berlindung di balik naskah novelnya yang kupegang vertikal menutupi wajah,
Takut dan waspada kalau-kalau dia menangkapku sedang menangis. Pasti aku jadi
objek bulan-bulanan lagi.
3
Kadang aku
berfikir, mungkin sudah saatnya ku cairkan perasaan kami yang membatu. Tentang
akhir kisah dari pergulatan cerita yang ibarat benang kusut. Tak tau akan ke
mana semua bermuara.
Apa
memang sebaiknya kita melekatkan status dan melabeli kisah kita dengan
embel-embel pacaran. Ah, konyol, tidak mungkin, batinku meracau.
Aku dan dia
telah terikat pada wilayah dan jarak yang kami ciptakan sendiri. Konsepsi
pacaran yang sempat kami, tak kusangka menjadi bumerang. Aku dan dia tersandera
ucapan, tersandera dinding kokoh yang lebih kuat daripada baja bernama
pemikiran.
Aku melirik
lagi ke arahnya. Namun Karina melindungi wajahnya dengan kertas, semacam bentuk
pertahanan diri. Agaknya dia memang marah, aku mungkin telah berlebihan
padanya.
Karina pasti
paham jalan cerita dalam rancangan novel di tangannya. Kisah itu tentang kami,
secara tersirat kugambarkan di dalamnya. Kami terikat profesionalisme. Dia
sebagai editor dan aku sebagai penulis. Kami adalah tokoh, kisah bahkan
representasi dari cerita. Dan persis sama, aku tak tau bagaimana mengakhirinya.
Lingkaran setan ini harus kita akhiri, bersamaan dengan konklusi kisah
rancangan novelku.
“Kau belum
tentukan ending ceritanya?” pertanyaan Karina membuat lamunanku buyar.
“Belum. Aku
bingung mau diakhiri bagaimana.”
“Bingung?”
“ Iya. Punya
tawaran?”
“ loh.
Konklusi itu jadi wewenangmu toh. Isi perjanjian kita kan begitu.”
Aku tersentak
mendengar jawabannya. Apakah memang dia tak paham apa yang coba aku sampaikan
padanya. Kalaupun dia paham memang wajar berkata demikian. Tapi profesionalisme
di atas perasaan bagiku, terlalu kejam.
“Ok. Bagaimana
kalo ending yang biasa?”
Kulihat Karina
membuang pandangannya ke arah jendela, tak menghiraukan tawaranku yang
terakhir. Sepertinya ia capek bergumung timbunan naskah. Kubiarkan ia dalam
kesendirian menatap kerumunan cahaya senja pada papan reklame di seberang
jalan.
4
Aku tak bisa
lagi berkata-kata.
Dia kembali
menyerangku dengan keputusannya yang kejam. Kenapa tak ia putuskan secepatnya
ending cerita novelnya? Dengan begitu kisah kami menjadi jelas. Jika memang ia
serius, aku pun telah siap menjadi pasangan yang halal baginya. Atau dia tak
siap menerima, aku juga siap. Ini semua tentang kepastian.
Pikiran
berkecamuk, kekuatanku raib, jatuh dari ketinggian yang tak berdasar.
Aku tak bisa
lagi mendengar kata yang keluar dari mulutnya. Setiap kata, kalimat, bahkan nada yang ia dengungkan
pada aksen kedaerahannya yang kental, menimbulkan sayatan.
Cepat-cepat ku
alihkan wajah dari tatapannya, membuang pandangan ke arah jendela.
Kukerahkan seluruh kekuatanku yang tersisa untuk menahan tangisku yang bakal pecah.
Di luar, jalan semakin sepi,untuk pertama kalinya aku merasa kesepian.
Erwin dan aku
sama-sama diam. Aku berikhtiar, hari ini adalah hari terakhirku menjadi
editornya.
0 comments:
Posting Komentar