Akhirnya kerinduannya akan kampung halaman terobati. Setelah
enam tahun lamanya di Negeri perantauan, Jeani kembali menginjakkan kaki di
tanah kelahiran. Cukup banyak hal yang berubah, gedung-gedung bertingkat,
tempat hiburan dan prostitusi sampai rumah api yang membuat orang-orang
terdongak, terakhir terlihat di salah satu stasiun televisi sebagai rumah
api termahsyur di seantero Negeri.
Dari anjungan kapal yang ditumpangi,
Jeani menyapu pandangan, memperhatikan lampu-lampu Pulau kelahiran yang gerlap
gemilang melawan langit gelap. Sorotan lampu mercusuar mahsyur tersebut
menembus pertikel debu langit, membuat pulau terlihat hidup dan tengah
menampilkan hiburan sirkus.
Tiupan angin laut membelai rambutnya,
terbungkus Jaket dan shal tampaknya tak cukup membendung sejuknya angin yang
meniup dari mulut langit malam. Perasaannya tengah bercampur aduk saat ini,
sedih namun bahagia sedang berkecamuk dalam batinnya. Segala kebanggaan sebagai
seorang Mahasiswi, juga dirinya di labeli sebagai aktivis perempuan oleh rekan
seperjuangannya, harus segera ia tanggalkan menyusul, alam yang nyata, dunia
kerja. Berkat aktivitas tersebutlah, dirinya harus sedikit terlambat
menyelesaikan studi. Meski rasa bersalah terhadap kedua orang tuanya terobati
dengan titel kebanggaan bersanding di ujung namanya. Nama orang tuanya akan
terkenang di kalangan penduduk desa, sebagai orang tua pertama yang sukses
menguliahkan anak perempuan di desanya. Kromo tentang perempuan yang tak akan
sukses jika merantau, telah dipatahkan oleh orang tua Jeani.
Malam pekat dengan sedikit sinar rembulan,
membuat bintang-bintang riang meramaikan cakrawala. Jeani merenung. Tatapannya
kosong membelah laut cina selatan. Terkenanglah dia dengan dosa yang ia perbuat
pada kedua orang tuanya. Tak terhitung berapa banyak kebohongan yang telah ia
perbuat pada ibu dan ayahnya. Kepingan-kepingan ingatan mulai berkelebat dalam
pikirannya.
*****
Suara
perempuan tua tersedak-sedak pada talian seberang. Dari speaker telpon genggam,
terdengar samar-samar suara tangisan. Sebuah percakapan penuh kesedihan antara
seorang Ibu dan anak perempuannya.
“Cepatlah pulang Jen, sudah berapa tahun ini mamak tak lihat
wajahmu,”
“Tunggulah sebentar
lagi Mak. Akan ku usahakan bulan ini bisa pulang.”
“ Tengoklah si bungsu,
hanya namamu saja dia tau. Pulanglah Nak, ingat-ingat juga keluargamu.”
Di tengah percakapan, terdengar suara seorang anak laki-laki
menyela, menyebut-nyebut namanya. Jeani tersenyum pahit. Adik bungsunya berumur
4 tahun, tak pernah bertemu langsung dengannya. Hanya bertukar suara lewat
telpon, tak cukup melepas kerinduan. Demi bertemu si Bungsu, inilah yang
memotivasi dirinya untuk segera menyelesaikan studi.
Talian terputus tanpa salam dan dengan tergesa-gesa. Jeani
memutus talian karena suara seorang laki-laki memanggilnya. Fatih, Jeani dan
dirinya merupakan sepasang kekasih yang tengah menjalani hubungan. Eksepresi
Fatih tampak tak bersahabat, tangannya menggenggam, siap menggampar Jeani.
Sekali ayun, tangan kerempeng itu mendarat di pipi kirinya, membuat Jeani
tersungkur. Matanya merah, nafas tersengal-sengal. Di raih Ponsel dari kantong
celananya, dan mengarahkan tepat di hadapan Jeani, hampir menempel di wajahnya.
Dari layar Ponsel, tampak Foto seorang laki-laki bergamit mesra dengan Jeani.
“Apa Ini!” Bentak Fatih
“Cuma kawan dari fakultas sebelah,” jelas Jeani masih menahan
perih di pipinya.
“hah? Kawan? Mesra begini”
“betul. Cuma kawan.”
“begitu. Maaf saja, Jen. Sudahlah.
“Sebentar. Saya bisa jelaskan semuanya.”
“ tak Perlu. Terus berbanggalah dengan kebesaranmu, jen.
Cukuplah dengan kita!”
Tampaknya
kemarahan Fatih tak bisa terbendung. Kesabarannya telah habis diperlakukan
demikian oleh perempuan yang sangat dicintainya. Menjalin hubungan dengan
penggiat gerakan agaknya adalah pilihan yang salah. Baginya cukup, selama ini
desas desus bahwa Jeani adalah seorang Player,
Istilah bagi seorang yang sering bertukar-tukar pasangan, bukanlah bualan
belaka. Lima tahun bertahan dalam kebiasaan buruk pasangannya, tentu hal
tersulit. Baginya hari ini terang semua persoalannya. Akhirnya ia memutuskan
untuk mengakhiri hubungan yang mereka bangun bersama sejak keduanya menginjak
bangku kuliah.
Demikianpun
Jeani, Ia menyesal telah memperlakukan seorang laki-laki seperti Fatih. Memang
dirinya adalah seorang Player. namun
perasaannya pada Fatih adalah nyata, tak semu seperti pada laki-laki lain yang
bersamanya. Baginya, perempuan juga punya kemampuan memiliki lebih dari satu
pasangan. Seperti halnya laki-laki. Postulat superioritas laki-laki ia patahkan
dengan membuktikannya secara nyata. Dari kejauhan, ia memandangi punggung kurus
Fatih. Langkah laki-laki itu lesu, dengan kepalanya menunduk. pemandangan
terakhir kalinya bagi kisah mereka. Jeani menangis sejadi-jadinya, nyeri di
dinding hatinya tak dapat ia lukiskan.
*****
Jeritan
terompet kapal memekakkan telinga, isyarat bahwa kapal akan segera berlabuh.
Jeani terbangun dari lamunannya. Angin menyeka air matanya, sedang tangannya
meraba matanya yang sembab. Kisah yang paling membekas dalam ingatannya
tersebut diakui menguras sebagian besar fokusnya. Tak ia pungkiri, laki-laki
tersebut lebih ia cintai dibanding keluarganya sendiri. Perhatian dan waktunya
banyak tersita pada romantika kehidupan kampus dan tetek bengek kisah
percintaan. Cinta dan kasih pada orang tua hanya sambilan, hanya terkadang
terlintas di pikiran. Sebuah realita kekinian dalam kehidupan mahasiswa.
Bibir kapal
telah mencium daratan pulau kelahiran. Diiringi munajat pada Yang Maha Kuasa,
Jeani menghentakkan kakinya pada lantai dermaga. Sebuah prosesi penyambutan
kembali untuk dirinya sendiri. Semacam ritual kecil yang sempat diajarkan
bapaknya saat keberangkatannya beberapa waktu silam.
Jeani menghela nafas panjang, pandangannya menyapu daratan.
Tampak baginya pemandangan yang tak lagi dikenalnya. Segala ingatan tentang
lima tahun lalu sama sekali berubah. Dermaga ini dulunya reot. Dengan jembatan
kayu tempat berlabuh kapal-kapal yang berderit-derit saat ditunggangi truk
bermuatan. Pohon-pohon Akasia berjejeran di sepanjang halaman. Ruang tunggu hanya
beratapkan seng karatan, dengan dinding kusam, bocor di sana-sini. Kini semua
berubah drastis. Jembatan dan ruang tunggu terbangun dari beton, tampak megah
dan beratapkan genteng berwarna biru laut. Tak ada lagi pohon Akasia yang
sering digunakan para pedagang eceran sebagai lapak, raib bersama pedagang
beserta jualannya.
Terlalu banyak yang berubah, demikian kesan pertama Jeani
memperhatikan daratan tersebut. Sekarang, tubuh-tubuh bangunan
berhimpit-himpitan bak jamur kuping. Puncaknya berlomba-lomba meraih
langit. Dalam hati Jeani panasaran,
seperti apa tampak rumah dan Desanya kini.
Taksi Dermaga memecut, membawa Jeani dan pikirannya yang
masih terkagum-kagum dengan pesat pembangunan, kekuatan sempurna makhluk
bernama waktu. Sepanjang jalan, ia terus mengingat keluarga dan rengekan si
Bungsu. Tersenyum-senyum sendiri membayangkan bagaimana rupa dari suara melengking adiknya.
Masuk ke wilayah Desa, Taksi melambat. Jalanan tampak rusak,
borok pembangunan mulai kelihatan. Jalanan penuh kerikil tajam dan tak terbalut
aspal, sebagian telah rusak dijamah kendaraan
konstruksi. Sawah-sawah kering tak terurus, tanah tandus. Tempat pembuangan
sampah menggunung, terlihat beberapa ternak mengais-ngais di tengah bukit
sampah. Kampungnya kini berubah menjadi tempat sampah dari segala pembangunan
kota. Begitu kontras antara tampilan dengan isi.
Sampai di depan halaman rumah, Jeani kembali dijamu dengan
rasa takjub. Rumahnya kini berdiri megah ditengah seok-seok wilayah tandus.
Dirinya masih terperangah. Namun anehnya tak seorangpun menyambutnya, baik Ibu,
ayah maupun si Bungsu. Seorang pembantu
rumah tangga menghampiri Jeani yang mematung.
“Cari siapa dek?”
“ini benar kediaman Bu Ratih?”
“ Oh, dulunya dek. Sekarang milik seorang kontraktor
terkenal. Kabarnya rumah ini dijual buat pembiayaan kuliah anaknya”
Jeani tak bergeming. Dirinya seperti disambar petir.
Pijakannya goyah, sedikit saja tersenggol, pasti langsung ambruk. Jeani
berusaha membangun kekuatan kembali. Mencari tau dimanakah keluarganya saat
ini. Setelah bertanya beberapa informasi pada pembantu tersebut, akhirnya ia
menemukan alamat baru keluarganya. Hanya beberapa meter dari gunungan sampah
yang baru saja ia lewati tadi.
Jeanie menyeret langkahnya yang semakin berat. Rasanya
terpukul mendengar pernyataan tersebut. pikirannya mulai mengandaikan hal-hal
negatif. Baru kali ini ia takut berhadapan dengan kebenaran, namun perasaannya
tak tenang pula untuk segera mengetahui kondisi keluarganya. Dari kejauhan
tampak gubuk reot yang dipenuhi rongsokan, tempat alamat yang ditunjuk pembantu
tadi.
Jeanie menyapu matanya yang mulai sembab tergenang. Tak ia
kehendaki, butir air tumpah sendirinya, tanpa ada perintah. Perlahan-lahan ia
mendekati pintu gubuk yang setengah menganga. Dari balik pintu, keluar seorang
bocah laki-laki. Anak berusia kurang lebih empat tahun, bertelanjang dada dan
mengenakan celana kain pendek. Sontak Jeani langsung memeluknya erat-erat,
badannya gemetaran karena tangisan yang tertahan di ujung tenggorokan. Anak
laki-laki itu turut menangis, memanggil-manggil ibu dan ayahnya, karena mengira
dirinya akan disakiti oleh perempuan yang tak dikenal. Beberapa saat kemudian,
Ibu dan ayahnya muncul dari balik halaman belakang. Jeanie langsung jatuh
menyembah Ibu dan Ayahnya yang mulai beruban. Suasana sesak dengan tangisan,
bersamaan dengan turun hujan, langit yang menangis. Aroma tanah kering
bersimbah hujan, bau sampah, langit yang menangis dan Tuhan, jadi saksi
penyatuan kembali Jeanie dan keluarga yang jatuh miskin karenanya.
~Fin~
Uploaded on eksepsionline.com
0 comments:
Posting Komentar