*LAKI-LAKI BRENGSEK



“Siapa yang  bertamu tengah malam begini,” ia bergumam sendirian.
Sebelum menuju pintu depan, Tari teringat jemurannya. Ia berlari-lari menuju halaman belakang. 
Tari mengutuk sifat pemalasannya. kini, pakaian kantornya tak dapat di selamatkan, basah kuyup diguyur hujan. Malas, di luar masih hujan deras, batinnya menggerutu. Suara ketukan kembali terdengar. Perkara pakaian basah membuatnya lupa pada tamu tak diundang.
“Iya, tunggu sebentar.” ujarnya setengah berteriak
Ia membuka pintu dengan was-was.

Di depannya tampak seorang perempuan basah kuyup, memegang high heels, darah mengucur dari keningnya.
 “Maaf, Tar. Tengah malam be
gini mengganggu” suaranya berat.
“Lisa?” Tari terkejut melihat perempuan dihadapannya. Basah kuyup dengan luka memar di sekujur tubuhnya.
“sudah, cepat masuk. Di luar dingin.”
Dua sahabat itu duduk di sofa ruang tamu. Tari memberikan baju dan handuk untuk Lisa. Ia tak kuat melihat sahabatnya, tampilannya memilukan.
Dari tadi, Lisa hanya sesegukan, mengusap-usap matanya. Lebam dan lecet seluruh tubuhnya.
Tari tak dapat mengurungkan niat bertanya masalah yang dihadapi sahabatnya.
“Kau kenapa Lis?” Tari bertanya sambil menawarkan teh yang baru diseduhnya.
Lisa hanya menggeleng, menyembunyikan wajah pada tekuknya.
Tanpa bertanya pun sebenarnya Tari telah tahu apa yang terjadi pada sahabatnya. Ia biasa mendengar dari teman-temannya kalau suaminya Lisa adalah laki-laki brengsek yang ringan tangan .
“Kau nginap di sini saja malam ini Lis. Di luar masih hujan deras.” Tari mengingatkan sambil mengeluarkan kotak P3k dari balik lemari.
Lisa mengangguk. Sambil memberi isyarat menolak pengobatan yang ditawarkan Tari.
 “Lukamu perlu diobati Lis,” Tari menghampiri sahabatnya, tak peduli dengan kengganan Lisa.
Sambil memperhatikan sahabatnya, Tari menahan amarahnya. Wajah cantik lisa kini tak  jelas bentuknya. Kantong matanya membiru, beberapa gigi tanggal, dan kening pecah, darah segar masih mengalir.
Tari menahan amarahnya, ia tau nasehat tak dibutuhkan sahabatnya saat ini. ia harus tenang.
“Lis… kau”
Belum sempat tari melanjutkan kalimatnya, Lisa langsung memotong.
“Makasih Tar, aku sudah baikan”
Tari melepas nafas panjang.
“ Oke. Tidurlah Lis. Kau butuh istirahat.”
Lisa mengangguk, memajang senyum yang dipaksakan.
Dua sahabat itu terbaring, namun tak dapat memejamkan mata. Isak yang berusaha diredam Lisa terdengar semakin keras. Suasana kamar senyap membuat isak Lisa semakin menggema. Emosi tari semakin memuncak mendengar desis tangisan sahabatnya. Dalam hati, ia mengutuk laki-laki yang bergelar suami pada sahabatnya. Brengsek!
Hawa kebencian dan isak tangis memenuhi kamar, membuat keduanya tak dapat memejamkan mata. Larut dalam emosinya masing-masing
“ Kau ingat dulu Tar, kita sering membicarakan laki-laki dengan kondisi seperti ini.”
Lisa spontan mengajak pikiran keduanya menuju masa-masa mereka sewaktu kuliah. Suasana tiba-tiba berbalik arah. Tari paham sahabatnya berusaha membuang pikiran mereka jauh-jauh dari masalah yang ia hadapi.
“aku selalu ingat Lis. Waktu rambutmu masih kau kuncir kuda dulu, sangat berbeda dengan dirimu sekarang.”
“Tsk..”
 Lisa menahan tawanya yang masih bercampur sisa tangisan.
“Ngomong-ngomong. Bagaimana kabar Setya?
Tari setengah terkejut mendengar Lisa menanyakan hal yang ingin mereka lupakan.
“Ah… Dia juga laki-laki brengsek. Sama seperti dengan yang lain.”
“memang semuanya brengsek!”
Pembicaraan seketika terhenti. Keduanya mengingat kembali masa-masa mereka bersama. Perasaan yang muncul pada dua insan sejenis. Bukan perasaan biasa, perasaan layaknya sejoli, perasaan yang disebut sebagai dosa, rasa terlarang yang bersatu pada entitas yang sama. Perasaan sama pada dua insan sejenis.
Hening kembali memenuhi ruang kamar. Kedua sahabat itu sadar akan kebodohan mereka di masa lalu. Diam, ditambah sejuk hawa hujan yang malantunkan nada nostalgia, membawa pikiran keduanya mundur sekian tahun ke belakang. Memori yang berusaha dikubur dalam-dalam, seketika bangkit, membawa Lisa pada kesimpulan….
Ia tak akan pernah mencintai laki-laki.
Dedikasi untuk sahabat penaku, L.

0 comments:

Posting Komentar