AMNESIA



Ibu menyodorkan sebuah potret dihadapanku. Seorang anak dengan senyum tersungging dibibirnya, Ia kelihatan begitu bangga memamerkan piala keemasan dan medali yang mengalungi leharnya. Aku melihat almarhum ayahku di sampingnya. Guratan dan senyum kebahagiaan ekspresif terpancar dari raut wajahnya.

“ini adalah foto yang diambil saat kamu menjuarai kompetisi olahraga di sekolahmu. Kamu mengingatnya”, Tanya ibu penuh panasaran.

Aku menggelengkan kepalaku. 


“ Kalau ini”? Tanya ibu lagi sambil memperlihatkan potret yang kuduga merupakan potret masa kecilku juga.

Lagi-lagi aku menggelengkan kepalaku.

“Tidak ibu. Aku tidak bisa mengingat apapun”. Jawabku pasrah.

“ Baiklah, sebaiknya kamu Istirahat Dulu”, sahut Ibu tersenyum.

Seberapa keraspun aku mencoba mengingat kenanganku sebelumnya, hasilnya tetap sama. Kenyataanya, Aku telah kehilangan ingatan yang telah kulalui 20 tahun silam, setelah kecelakaan yang merenggut nyawa ayahku terjadi. Hanya potongan-potongan ingatan tepat setelah kecelakaan itu yang mampu ku ingat. Jeritan kesakitan, tangisan dimana-mana, bau daging manusia yang gosong dimakan api, dan darah berceceran disana sini, semuanya hanya ingatan mengerikan yang kuharap dapat hilang bersama ingatanku sebelumnya. Kecelakaan maut dimana Kereta api yang aku dan ayah Tumpangi itu mengubah alur kehidupanku.

Kemarin aku dibawa ibu berkunjung ke beberapa tempat yang terasa tak asing bagiku. Mulai dari lapangan sepak bola disamping mesjid, Sekolah, hingga menjumpai beberapa teman dan kerabat dekatku. Mereka menanyakan hal yang sama setiap kali kami bertemu, “Apakah kamu mengingatku? aku adalah……”. Aku berusaha mengingat suara dan wajah mereka, namun hasilnya tetap sama. Aku sama sekali tidak mengingatnya. Sama seperti Ibuku, awalnya aku tidak mengenalnya, namun setelah ia menjelaskan mengenai siapa dirinya, memperlihatkan potret kami sekeluarga, aku bisa menerima bahwa ia adalah orang yang melahirkan dan membesarkanku sejak kecil.
Hidup tanpa ingatan membuatku sangat kesepian. Seperti seseorang yang baru pindah dari suatu tempat, keadaan disekitarku begitu asing terasa. Aku berusaha membiasakan diri dengan lingkungan, membaca buku-buku koleksiku sendiri, aku berharap dapat mengingat kembali semua kenanganku. Suatu hal yang sering mengangguku adalah lukisan Almarhum ayah yang dipajang di ruang tamu. Setiapkali aku memandangnya, ada perasaan sedih yang mendalam, dadaku terasa sesak dan air mataku jatuh dengan sendirinya. Siapakah sosok ayah padaku? Apakah ayah merupakan bagian tersedih dalam kehidupanku atau biang penderitaan dalam hidupku.

Setelah makan malam, aku menanyakan kepada Ibu bagaimana hubunganku dengan Ayah. Ibu mengatakan aku selalu terlibat pertengkaran hebat dengan ayah. Sifatnya yang selalu mengekang dan tegas terhadap anak-anaknya membuatku selalu menentang keputusannya. Bahkan keinginanku untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi sempat membuatnya marah besar. Ayah tidak setuju dengan keinginanku. Menurutnya aku lebih baik melanjutkan bisnis keluarga dibandingkan kuliah yang hanya membuang-buang waktu. Karena keputusannya yang sepihak, dan tekadku untuk melanjutkan pendidikan, malam itu aku lari dari Rumah, menuju ke kota besar, tempat dimana aku melanjutkan kuliah, Begitu cerita Ibu.

“ Apakah Ibu merindukan Ayah”, pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutku.

Ibu menghentikan ceritanya dan tersenyum kepadaku. “ Selalu”, Jawabnya. “Aku merindukan saat dimana Ia memarahiku karena adikmu bermain sepakbola hingga tiba waktu magrib. Aku merindukan ulahnya yang menyebarkan asap Rokok dipagi hari, aku merindukan Lantunan merdu Ayat suci al-Qur’an dari mulutnya usai shalat Shubuh, aku merindukan nyanyian saat ia meninabobokan adikmu …..” suara Ibu tertahan, ia tak Kuat meredam tangisnya. kurasa ia merasa sangat kehilangan sosok yang begitu dicintainya, Ayahku.

            Malam itu aku tidak bisa melelapkan mata, meskipun ingatanku kosong, Namun kepalaku terasa berat. Diriku yang sekarang bagai lembaran kosong tanpa tulisan. Meskipun begitu, aku yakin cepat atau lambat, ingatanku yang dulu pasti akan kembali. Bagian dari jiwaku yang lalu mungkin saja sedang memperhatikanku disudut kamar, menunggu saat yang tepat untuk kembali pada tubuhku. Aku mencoba membuang semua pikiran-pikiran negative dari benakku, mencoba meyakinkan diri dengan sugesti positif. Dari pembaringan, aku memandang kearah jendela, memperhatikan cahaya rembulan yang mulai meredup tertutup awan. Pikiranku terbang bersamanya, mengantarku jauh ke alam tidur meninggalkan tubuhku.

*******

            Cahaya lampu dari ruang tamu mengintip lewat celah pintu yang sedikit terbuka, seseorang berjalan pelan kearahku. Ia duduk disamping pembaringan, memperhatikanku yang sedang terlelap. Tatapan itu begitu hangat dan akrab, seketika aku merasa seperti pernah dalam kondisi ini sebelumnya. Tangannya membelai rambutku, hangat dan begitu tenang kurasa. Ia beranjak sedikit dari pembaringanku, menarik selimut untuk menutupi tubuhku. Dengan langkah pelan ia menuju kearah jendela, menerawang keluar. Cahaya bulan menyinari wajahnya yang keriput, gambaran tegarnya ia menghadapi kehidupan.

            “Ayah,” panggilku pelan. Ia tersenyum Sedikit, kemudian menghilang tanpa jejak bersama angin malam yang sejuk. Aku terdiam tak berkata.

0 comments:

Posting Komentar