Sisa perdebatan di warung kopi malam tadi masih menggantung rasanya. Tak ada habisnya perdebatan tersebut. Masing-masing orang ngotot mempertahankan argumentasinya. Tak ada solusi, tapi lumayan buat menambah khazanah pengetahuan. Diskusi panjang “Laki-laki Cengeng” malam itu, harus disudahi mengingat persiapan sahur di bulan penuh berkah ini.
Salahkah menjadi laki-laki
melankoli?
Kata teman sekamar, laki-laki identic
dengan pembawaan yang lugas, tegas dan pantang mundur menyelesaikan suatu
persoalan. Senior tingkatku mendukung dengan nalar bahwa seorang laki-laki yang
terbiasa dengan pola hidup melankoli secara tak langsung mengingkari kodratnya
sebagai laki-laki.
Diskusi berlanjut hingga pada
ruang yang lebih konkret dan terpopuler saat ini, dunia literasi.
Dunia tulis-menulis dewasa ini
diwarnai dengan perwajahan melankoli. Setiap hari selalu saja ada oknum dalam
contact list media sosial yang menggerutu tentang beratnya hidup, terjalnya dunia
percintaan atau sulitnya menghadapi tugas akhir. Ruang public dalam dunia
jejaring sosial memang tak lepas dari hal-hal berbau sinisme. Selalu saja
meragukan kebenaran, menghindari kenyataan.
Namun salahkah jika seorang
laki-laki yang katanya dikaruniai hati baja bertingkah sedemikian? Dunia
literasi yang sesak dengan opini-opini dari penulisnya adalah bebas. Terserah mau
nulis apa, yang penting bertanggung jawab.
“-At the last, Habits make you.” Kutipan
menjadi dasar pembenaran, bahwa kebiasaaan sehari-hari akan membentuk karakter
dan alur berfikir seseorang. Membiasakan diri merilis kondisi perasaan membuat
seseorang tak lagi mandiri. Cepat bertindak konyol, membiarkan semua orang
mengetahui permasalahannya. Tak lagi jelas ruang privasi seseorang, karena
dirinya sendirilah yang mengumbar ruang privasinya. Kesalahan beberapa oknum
demikian adalah pada cara berfikirnya. Memisahkan antara realitas dan dunia
maya dalam jejaring dunia daring. Ironisnya, tak jarang kita mengetahui
karakter asli seseorang ditinjau dari media-media sosial yang dipunyainya.
Apakah memang salah menabur
perasaan dengan tulisan? Tentu saja tidak. Tulisan menjadi penguasaan penuh
penulisnya. Pertanggungjawaban ada pada penulis. Selera memang tak dapat untuk
dicampuri, meski demikian, dengan selera, cita rasa dan perwatakan seseorang
dapat diukur.
0 comments:
Posting Komentar